Blog Kita dalam Massa
Farabi Ferdiansyah
Pegiat ilmu komunikasi praktis. Tertarik dengan dunia kreatif, sastra, jurnalistik, fotografi dan broadcasting!
Pegiat ilmu komunikasi praktis. Tertarik dengan dunia kreatif, sastra, jurnalistik, fotografi dan broadcasting!
Selasa, 19 Januari 2010
Ketika Jurnalisme Dibungkam
Sastra harus bicara
Farabi Ferdiansyah
Karya: Seno Gumira Ajidarma
Bentang Pustaka, 2005
Cetaka kedua
Sebelum orde baru banyak sekali media komunikasi yang dibredel karena tulisan atau isi dari penyampaian berita tersebut mengamcam para penguasa yang duduk di bangku pemerintahan. Namun karena kesadaran melek media, setelah orde lama runtuh, dan undang-undang yang membatasi kebebasan pers untuk berapresiasi direvisi/dicabut. Maka menjamurlah media komunikasi di masa itu sampai saat ini.
Seno Gumira Ajidarma, menggambarkan betapa sulitnya kebebasan berapresiasi dari zaman kerajan-kerajaan dahulu, para pujangga dibatasi karyanya hanya untuk memuji para raja. Namun tidak serta merta membutakan mata para pujangga idealis untuk berkreasi lebih. Adalah Prapanca, reporter dari Majapahit, dia menuliskan di luar kebiasaan para pujangga yang hanya bisa memuji-muji rajanya, menuliskan kebenaran lain dari kerajaan yang kebesarannya masih dipoles-poles sampai sekarang, dalam syair panjang yang kemudian disebut Nagarakrtagama. Meski sudah ditulis tahun 1365 di lereng gunung desa Kalamsana, Jawa Timur dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno, ia baru ditemukan naskah salinannya tahun 1740 oleh Arthapamasah dengan huruf Bali di Lombok pada 1894. Dan baru pada tahun 1979 untuk pertama kalinya Nagarakrtagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia.
Ketika para pujangga Jawa terbiasa menjadi mabuk oleh keindahan alam, Prapanca malah berkata, “Kami tidak akan bicara tentang keindahan danau itu”. Dengan kata lain, sebuah Nagarakrtagama satu-satunya sumber tiada tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan satra namun juga dalam berpolitik.
Kebenaran dalam kesusatraan adalah perlawanan bagi historisisme –sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaaan--. Kebenaran di dalam kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada alat tulis dan komputer, melainkan oleh visi dalam kepala yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam dan termusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai kebenaran dari sisi manapun, karena kehidupan sastra berada dalam pikiran. Butuh waktu yang lama untuk menemukan kebenaran, walaupun rohnya sudah tidak ada, pemikiran dan karyanya akan selalu terkenang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar