Blog Kita dalam Massa

Farabi Ferdiansyah
Pegiat ilmu komunikasi praktis. Tertarik dengan dunia kreatif, sastra, jurnalistik, fotografi dan broadcasting!

Selasa, 19 Januari 2010

Pesta Obama di Bali
Oleh: Farabi Ferdiansyah




Data Buku
Judul : Pesta Obama di Bali
Penulis : Nuriwa Ki S Hendrowinoto
Penerbit : Udayana University Press
Tahun: 1, Juli 2009
Tebal : 170 halaman

Jangan anda berharap, Obama benar-benar mengadakan pesta di Bali. Karena ini merupakan karya fiksi, namun bernilai sangat tinggi. Penuh dengan lika liku kehidupan bangsa.
Itulah karya yang di tulis oleh Nuriwa Ki S Hendrowinoto, dengan judul Pesta Obama di Bali. Ia berusaha menyadarkan bangsa ini, dengan keahliannya dan caranya sendiri. Di saat bangsa ini sedang menikmati euphoria demokrasi, Nuriwa mencoba “menyentil” masyarakat luas secara umum, dan para petinggi negara, agar tidak semena-mena terhadap negaranya sendiri. Dalam novel ini, fakta dikemas dalam cerita fiksi yang unik, sehingga menambah selera para pembacanya.
Pesta Obama di Bali mengisahkan penari Bali, Nyi Legong, yang tidak mau mengenakan BH dan celana dalam, sejak G-30 S-PKI tahun 1965 sebagai protes moral atas kebiadaban yang menimpa keluarganya. Suaminya, adalah korban salah tangkap, sedangkan dirinya telah diperkosa oleh para penyidik. Kejadian-kejadian itu membuat dirinya bersumpah kepada dirinya sendiri untuk tidak mengenakan BH dan celana dalam.
Tiba-tiba sumpah tersebut luluh ketika Obama terpilih menjadi presiden. Ia mau menari lagi dengan menggenakan kutang dan celana dalam. Seggala ritual pun dilakukan, tiba-tiba, tariannya dalam pesta tersebut menjadi kesurupan dan terjadilah peristiwa memalukan yang mengakibatkan Nyi Legong dan mereka yang terlibat di dalamnya, berurusan dengan gedung putih dan membakar jenggot para pemuka agama.
Kisah sederhana ini, dikembangkan oleh Nuriwa dalam opininya yang bernada kritis terhadap Indonesia, baik politik, budaya, sastra bahkan agama. Penulisnya merasuk ke setiap sela-sela, ke segala arah peradaban Indonesia. Sebuah cakupan yang sangat luas dan ambisius, membuat pembacanya sangat terlena dengan kisah unik namun mengkritik.
Novel ini pada dasarnya sindiran terhadap mentalitas bangsa. Hampir segalanya tak bisa dibanggakan kalau tidak berani bangkit dengan otensitasnya sendiri.Tidak percaya diri dalam berpikir otentik inilah yang menjadi dasar Indonesia. Seperti dalam kisah novel ini, masyarakat Indonesia menaruh harapan dirinya, bukan kepada kepala pemerintahannya sendiri, melainkan pada Presiden Amerika, Obama. Indonesia tidak hidup dari diriya sendiri melainkan dari sikap, pangkuan tangan dan tindakan bangsa lain.
Secara keseluruhan, novel ini ditulis dengan bahasa yang estetis, lugas, jauh dari kesan bertele-tele novel ini pantas untuk dijadikan konsumsi. Pola pikir liar ala Nurinwa akan membuat kita sadar kewajiban kita sebagai warga Negara.

Ketika Jurnalisme Dibungkam
Sastra harus bicara
Farabi Ferdiansyah





Karya: Seno Gumira Ajidarma
Bentang Pustaka, 2005
Cetaka kedua

Sebelum orde baru banyak sekali media komunikasi yang dibredel karena tulisan atau isi dari penyampaian berita tersebut mengamcam para penguasa yang duduk di bangku pemerintahan. Namun karena kesadaran melek media, setelah orde lama runtuh, dan undang-undang yang membatasi kebebasan pers untuk berapresiasi direvisi/dicabut. Maka menjamurlah media komunikasi di masa itu sampai saat ini.
Seno Gumira Ajidarma, menggambarkan betapa sulitnya kebebasan berapresiasi dari zaman kerajan-kerajaan dahulu, para pujangga dibatasi karyanya hanya untuk memuji para raja. Namun tidak serta merta membutakan mata para pujangga idealis untuk berkreasi lebih. Adalah Prapanca, reporter dari Majapahit, dia menuliskan di luar kebiasaan para pujangga yang hanya bisa memuji-muji rajanya, menuliskan kebenaran lain dari kerajaan yang kebesarannya masih dipoles-poles sampai sekarang, dalam syair panjang yang kemudian disebut Nagarakrtagama. Meski sudah ditulis tahun 1365 di lereng gunung desa Kalamsana, Jawa Timur dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno, ia baru ditemukan naskah salinannya tahun 1740 oleh Arthapamasah dengan huruf Bali di Lombok pada 1894. Dan baru pada tahun 1979 untuk pertama kalinya Nagarakrtagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia.
Ketika para pujangga Jawa terbiasa menjadi mabuk oleh keindahan alam, Prapanca malah berkata, “Kami tidak akan bicara tentang keindahan danau itu”. Dengan kata lain, sebuah Nagarakrtagama satu-satunya sumber tiada tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan satra namun juga dalam berpolitik.
Kebenaran dalam kesusatraan adalah perlawanan bagi historisisme –sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaaan--. Kebenaran di dalam kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada alat tulis dan komputer, melainkan oleh visi dalam kepala yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam dan termusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai kebenaran dari sisi manapun, karena kehidupan sastra berada dalam pikiran. Butuh waktu yang lama untuk menemukan kebenaran, walaupun rohnya sudah tidak ada, pemikiran dan karyanya akan selalu terkenang.