Blog Kita dalam Massa

Farabi Ferdiansyah
Pegiat ilmu komunikasi praktis. Tertarik dengan dunia kreatif, sastra, jurnalistik, fotografi dan broadcasting!

Kamis, 13 Desember 2012

SUSI New Media in Journalism

Kejar dan tangkap program beasiswa short course, Study of the US Institute (SUSI) for Leadership Student on New Media in Journalism, di Amerika Serikat. Program tersebut akan berlansung selama 5 Minggu di negeri Paman Sam. Program ini akan diikuti dari 3 negara dari Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia dan Filipina.

Pengalaman saya, program ini menyajikan pengetahuan mengenai Media, Jurnalis, American law and history serta leadership. Selama 4minggu, para peserta akan menjalani perkuliahan secara intensif di salah satu universitas terkemuka di Amerika (tahun lalu Ball State University, dan semoga tahun ini Ball State menjadi host university, lagi). Dan 1 minggu terakhir, peserta akan melakukan study tour ke beberapa media besar di USA, seperti New York Times, dan lainnya.

Tidak hanya sebatas itu, dalam waktu yang singkat tersebut, para delegasi dari tiap tiap negara diberikan kesempatan untuk memperkanlkan budayanya melalui ajang internasional Cultural Performance and Cultural Exhibition.

Tunggu apa lagi, segera apply beasiswa bergensi ini!
Sila kirim email permohonan form ke para alumni SUSI New Media in Journalism 2012!

Jumat, 07 Desember 2012

Museum Interaktif Conner Praire

Menilik video warung VOA (Voice of Ameica) Indonesia berjudul “Apresiasi Sejarah di Amerika” (19/11) mengenai Renaissance abad pertengahan di Annpolis, Maryland, mengingatkan aku pada museum interaktif Conner Praire di Indiana. Ya, Conner Praire bukanlah museum seperti museum pada umumnya, melainkan museum interaktif yang memanjakan para pengunjunganya dengan atmosfir abad pertengahan, yang terjadi pada momentum Civil War di Amerika.


Awalnya aku mengira Conner Praire seperti museum Iptek (Ilmu pengetahuan dan teknologi) yang ada di indonesia. Berteknologi tinggi, yang apabila ditekan tombol X akan muncul Y. Bisa bersepeda di atas seutas tali, dengan memberikan beban pada bawah sepeda. Atau ketika berkaca pada suatu kaca khusus, maka bayangan kita ada tiga atau lebih. Tidak, museum interaktif Conner Praire bukan seperti itu, bahkan lebih canggih dari sekedar teknologi.

Berbekal tiket masuk seharga 15 dolar Amerika (16/07) untuk orang dewasa, kita bisa terjun langsung dalam peperangan Civil War di Amerika. Perang saudara antara Amerika Selatan dan Amerika Utara antara tahun 1861-1865. Di museum tersebut, kita bisa melihat berbagai arsitektur, infrastuktur, kostum imajinatif, hingga gelas zaman dahulu, kala Civil War.


Di museum Conner Praire, kita seperti berada di tengah peperangan. Mendengar deru desingan peluru,seakan-akan peluru melewati telinga, dan ledakan yang memecah telinga. ‘Brak’ peluru mengenai rak kayu, rak tersebut hilang keseimbangan dan menjatuhkan segala benda yang ada. Aku pun menunduk seraya menutup kuping dan mata terpejam, dengan kepanikan disertai dentuman detak jantung yang berdetak lebih cepat.

Itu benar terjadi, Boi! Aku menunduk sambil menutup kuping, bahkan temanku yang perwakannya tinggi besar, berteriak “tiarap!” karena reflek mendengar desingan peluru, dan ledakan suara bom, disertai benda-benda yang jatuh di sekitar kami. Kami sama sekali tidak tahu akan terjadi hal seperti itu.

Kami masuk ke dalam ruangan yang dijaga oleh seorang remaja lekaki yang berkemeja putih, berompi kulit, dengan menghunus senapan laras panjang zaman dahulu. Ketika masuk, nampak terlihat sepasang suami istri yang berbicara dengan topik yang aku tidak mengerti. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Entah mereka ngelantur, atau mereka sedang mencaci maki aku dengan aksen yang tidak aku ketahui.

Perawakan lelaki putih dan sedikit tambun itu, nampaknya sedang mabuk. Dia berbicara dengan gestur tubuh sempoyongan, tangan kirinya siap dengan senjata laras panjang, dan sesekali tangan kanannya memegang tempat minum yang terbuat dari kulit binatang. Si wanita nampaknya sedang bersedih, sambil memegang beberapa kain. Dia menyapa kami dengan hening, hanya berbicara kepada sosok lelaki tambun tersebut, sambil menunduk.


Belakangan, aku tahu bahwa mereka sedang membicarakan topik tentang masa lalu, dan nasib mereka yang terjebak dalam ruangan di zaman perang Civil War. Mereka sengaja seperti itu, agar kami terpancing, dan merasakan atmosfir ketika terjebak di dalam ruangan saat perang berkecamuk.

Show time. Munculah gambar gambar yang ada disekitar. Aku tidak memerhatikan gambar yang tersaji di dinding dan kaca ruangan, melainkan mencari darimana munculnya gambar. "Canggih!" ucapku takjub. Muncul wajah-wajah dalam jendela, kuda-kuda berlari di sekitar, hingga pada suatu momentum si lelaki tersebut berteriak, peluru berdesingan, hingga benda-benda di sekitar jatuh.

Ya, mereka telah sukses membuat kami histeris dan merasakan ketegangan ketika rumah yang kami tempati ditembaki pada masa Civil War. Bahkan ada tempat di mana kita seperti benar-benar masuk ke dalam lokasi peperangan, dengan ending suara meriam yang ditembakkan dan menebus (berlubang) salah satu dindingnya.

Itu merupakan salah satu pertunjukkan yang ada di komplek museum Conner Praire yang telah mendapat pengharggan National Medal for Museum and Library Service ini. Zamzami, mahasiswa Indonesia yang berkesempatan mengunjungi Conner Praire pun takjub. Menurutnya, semua seperti nyata.


Ada camp para pejuang, ada jembatan merah yang terkenal pada Civil War, sekolah, toko, para pengrajin besi, para petani, peternak zaman dahulu, hingga camp suku Indian. Uniknya apa yang tersaji di komplek museum Conner Praire, mengulas dan kembali ke masa lalu, hingga ada beberapa volenteer dan staff yang meragakan permainan tradisional Amerika kepada pengunjung, khususnya anak-anak.

I remember the class in Conner Prairie. The girl who taught us about the old Math. that's the example. furthermore they wore costumes similar with the past and also have arranged the class,” Ucap Dikara salah satu penggunjung Conner Praire.


Mungkin saat kita pertama kali masuk, terasa aneh. Disuguhi dengan suasana zaman dahulu, dengan perawakan dan kostum yang tak biasa kita lihat. Namun, jika kita jeli, ternyata apa yang tersaji dari awal hingga kita sampai akhir. Itu merupakan satu kesatuan cerita epik yang terjadi dimasa lalu, tepatnya masa Civil War.

“Aku terkesan banget sama museum ini. Ini museum terhebat yang pernah aku liat,” ucap Shere salah satu penggunjung asal Indonesia.

Ya, Civil War merupakan tragedi bersejarah Amerika, yang memakan banyak korban dari warga Amerika itu sendiri. Tapi pasca perang tersebut, munculah United States of Amerika (USA) sesungguhnya, muncullah persatuan, kesatuan. Muncul keputusan persamaan hak, kebebasan, dan human rights.


Apresiasi terhadap sejarah seperti inilah yang membuat warga Amerika sangat mencintai negaranya. Sebab pengenalan budaya dan sejarah kepada mereka begitu unik, sehingga menarik minat masyarakat untuk belajar sejarah, dan mencitai bangsanya. Inilah yang membut para junior Americans (anak-anak Amerika) memiliki nilai nasionalisme yang tinggi, sebab pengenalan budaya dan sejarah Amerika dimulai sejak dini, dan sangat kreatif.

Tentunya hal ini menjadi stimulus bagi kita dan pemerintah, untuk membumikan museum. Mengkampanyekan kunjungan ke museum dan mengkonsepkan museum agar tidak membosankan. Dengan begitu, anak-anak tunas bangsa Indonesia akan lebih mengenal, menghargai, dan mengapresiasi sejarahnya. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.

Foto by: Farabi Ferdiansyah