Blog Kita dalam Massa

Farabi Ferdiansyah
Pegiat ilmu komunikasi praktis. Tertarik dengan dunia kreatif, sastra, jurnalistik, fotografi dan broadcasting!

Selasa, 23 November 2010

Ridha Allah, adalah Ridha Orangtua


Tepat pukul 13.30, aku meningalkan kampus. Seusai mengisi absen seminar Jurnalistik Infotaiment, aku langsung pulang, karena ada pelatihan Jurnalistik yang diadakan oleh Majalah Muzakki selama 3 hari, di Pusdiklat Departemen Sosial. Aku memacu kendaaraanku begitu cepat, karena acara pelatihannya dimulai pukul 14.00. Waktuku sangat sempit, belum lagi aku harus ke rumah terlebih dahulu, mengambil Kamera DSLR yang akan digunakan pada saat latihan.

Dilema, itulah yang kualami saat itu. Pelatihan dimulai jam 14.00, sedangkan aku harus mengikuti seminar yang diadakan oleh jurusanku, jurnalistik. Kalau aku tidak ikut seminar itu, absensiku sudah bolong berapa kali, karena aku sempat tidak masuk 2 minggu, dikarenakan sakit DBD. Karenanya aku tidak mau bolos kuliah, khawatir, absensiku kelak tidak sampai 75%, yang tentunya akan berdampak buruk bagi pendidikanku. Namun, jika aku tidak bolos, setidaknya mengisi absensi, tentunya aku akan terlambat datang ke lokasi pelatihan Jurnalistik.

Jam 3 tepat, aku sampai di tempat pelatihan, telat 1 jam. Aku pun masuk gedung dan registrasi. Tapi sayang, aku tidak bisa mengikuti pelatihan itu, karena aku telat. Aku mulai bernegosiasi, menjelaskan alasana keterlambatanku, karena urusan kampus. Mba Syifa, panitia penyelenggara berusaha membantuku agar aku dapat mengikuti pelatihan. Namun sayang, sesuai kesepakatan yang telah disepakati, dan telah tertulis di jadwal, “diharapkan ontime, jika terlambat akan gugur!” aku tidak tetap tidak bisa mengikuti pelatihan itu.

Aku mencoba menjelaskan lebih detail lagi, berharap masih ada kesempatan. Namun hasilnya tetap saja nihil. Sangat disayangkan memang, pelatihan Jurnalistik selama 3 hari, gratis, aku lewatkan begitu saja, padahal proses untuk melangkah menjadi pesertanya sangatlah sulit, harus melewati berbagai tahap; membaca Al-Quran, wawancara dan tes menulis. Temanku pun, yang terbilang senior, tidak lolos, dari ratusan pendaftar hanya diambil 30 orang saja, salah satunya aku. Kesempatanku untuk menjadi wartawan di majalah Muzakki pun tertutup, karena saat pelatihan itulah, penyaringan/seleksi akhir untuk menjadi wartawan di majalah tersebut.

Aku pun tidak menyesali kegagalanku itu, karena aku dituntut orangtuaku untuk kuliah yang benar dan cepat lulus, tidak menyuruhku untuk bekerja. Oleh karena itu, kewajiban utamaku adalah di kampus. Aku pun tidak bilang kepada orangtuaku kalau aku mengikuti seleksi menjadi wartawan majalah, aku hanya izin mengikuti pelatihan jurnalistik selama 3 hari. Kalau mereka tahu, mungkin aku tidak diizinkan, karenanya aku diam-diam saja. Bahkan, sehari sebelum pelatihan orang tuaku mengatakan untuk fokus kuliah saja, tidak boleh melamar bekerja saat berstatus mahasiswa.

Ridha Allah, adalah ridha orangtua.

Jika orangtua kita tidak meridhai, niscaya Allah pun tidak meridhai. Mungkin itulah salah satu jawabannya. Aku yakin, kelak akan ada jalan yang terbaik yang akan diberikan Allah kepadaku. Siapa tahu, suatu saat aku langsung diangkat menjadi Pemimpin Redaksi di sebuah media cetak, Amin.

Tulisan ini diajukan untuk mengganti tugas report seminar Jurnalistik, ditujukan kepada Drs. Joni

Senin, 15 November 2010

Rintihan Anak Bau Kencur (#2)




Sabar! Akh..., sampai kapan aku harus bersabar? Kali ini kesabaran ku ini sudah sampai titik klimaks. Ibuku pun sampai menitikkan air matanya, melihat fenomena yang sudah tidak wajar ini. “Untung kamu udah pulang, coba kalau kamu belum pulang, siapa coba yang mau bantuin Mamah?! Ya Allah!” ucapnya, lirih.
Kejadiannya begitu cepat, hanya hujan sebentar saja, banjir langsung meluap, layaknya datang air bah. Sekejap, 3 RT tergenang banjir. Banjir di didepan rumahku sudah se-dada orang dewasa. Bagaimana kedalaman di bantaran kali? Pastinya sudah 2meter lebih. Beruntung, kakekku datang ke rumah, membantu kami berberes mengangkat kulkas, tv, mesin cuci dan barang elektronik lainnya. Sebenarnya aku tidak tega melihat kakekku yang sudah berusia sepuh itu mengangkat beban yang sangat berat. Namun siapa lagi yang dapat membantuku? Orang-orang di sekitarku pun juga panik, malahan kondisinya lebih parah keadaannya. Suami, dan anak lelaki mereka belum pulang bekerja atau sekolah. Ya, kejadiannya di hari dan waktu jam bekerja, jarang kaum adam yang ada dirumah.



Saat aku keluar rumah, untuk membeli persediaan makanan pun, banyak tetangga yang meminta bantuan, untuk mengangkat barang-barang elektronik. Satu rumah selesai, berjalan beberapa langkah, sudah ada yang meminta bantuan lagi. Semua Barang-barang harus diselamatkan, jika tidak, tentunya sangat menghambat mobilitas kami. Motor yang mogok, kasur ber-sprei lumpur, para karyawan tidak bisa bekerja (bahkan dapat terancam di pecat), para pelajar tidak bisa sekolah, buku-buku asupan gizi dan nutrisi otak mereka hanyut terendam. Belum lagi penyakit yang ditimbulkan, banjir kemarin saja, belasan orang dirawat di rumah sakit terkena Demam Berdarah (DB), termasuk aku. Layaknya kasus Century, banjir di wilayahku ini juga berdampak sistemik. Di sisi lain, dari ketinggian apartemen Kemang Pileg, “mereka” terhibur dengan keadaan kami.





Semakin sore, air semakin meluap, bangku/kayu yang menjadi penopang barang-barang elektronik jomplang/hanyut karena kapasitas air yang semakin tinggi. Sempat ibuku panik mencariku, saat aku membantu rumah tetangga. Beliau panik karena landasan penopang barang elektronik sudah goyah, dan harus ditaruh di tempat yang lebih tinggi. Aku dan kakekku kembali berjibaku dengan beban yang berat. Aku mencari batu besar atau benda yang berat, untuk membebani penopang, agar tidak goyah dan terbalik. Bahkan rumah Zawik, tetanggaku, kulkasnya terbalik, dan tergenang di air. Mushola, yang dahulu dijadikan tempat mengungsi pun, telah terendam air.



Aku pun heran dengan masyarakat di wilayahku sendiri. Mengapa mereka diam saja? Apakah mereka menikmati kejadian ini? Padahal ini sudah di luar kewajaran otak yang normal. Biasanya banjir besar melanda (lebih dari 2meter) minimal 5 tahun sekali. Mau demo, ah..., tapi hanya di mulut saja. Aku yakin, tembok tinggi, penghalang luapan air kali Krukut itu, tidak hanya berdampak bagi wilyahku saja, melainkan wilayah di sepanjang kali Krukut. Namun, aku yakin mereka tidak tahu hal ini (adanya tembok penghalang luapan air kali Krukut ke wilayah Kemang dan pembabatan daerah resapan air). Masyarakat wilayahku dan pemerintah tahu akan hal ini, tapi mengapa mereka diam saja. Apa suara kritis mereka sudah tersumpal uang haram? Mereka tahu tapi diam, sama saja meng-amini pembunuhan berantai, korupsi berjamaah atau kejahatan kriminal lainnya. Sekali lagi aku masih sangat bingung, mengapa real estate itu memiliki izin analisis dampak lingkungan (AMDAL), padahal jelas wilayah kami semakin tercemar dengan sampah dan penyakit.



Menunggu!? Menunggu realisasi pelebaran kali Krukut! Yah, seperti mencari mata air di tengah padang pasir. Belum survei, pembebasan lahan yang tak kunjung sepakat, lelang proyek, mendatangankan alat berat dan materi lainnya. Masih lama kawan, keburu banyak orang yang stress dan bunuh diri karena hal ini. Keburu banyak orang yang terkena penyakit dan mati merana.
Magrib menjelang, namun hujan tak kunjung reda, dan kapasitas air semakin meluap. Aku putuskan untuk mandi dan menunaikan Solat Magrib. Saat air mengguyur tubuhku, aku teringat, kejadian ironis ini belum aku abadikan. Dari tadi aku ingin mengabadikan dan mem-publish moment ini, namun aku masih sibuk menyelamatkan barang-barang di rumah. Banyak moment ironis yang aku lewatkan, nenek-nenek di taruh di dalam bak, dibawa ke tempat yang lebih tinggi untuk mengungsi, motor-motor terendam dan moment penting lainnya. Namun, aku sengaja tidak memotret, sebab masih banyak tetanggaku yang harus di bantu, aku pun mengalahkan insting jurnalisku untuk sebuah nilai humanisme, yang menurutku patut dijunjung tinggi. Belum usai mandi, aku mengambil kameraku, dan ingin menceburkan diri lagi ke dalam air keruh. Saat itu, hujan masih turun. Aku ragu untuk memotret, takut kameraku rusak, karena aku yakin tidak mampu membeli yang baru.



“Akh, jangan pikirkan! lo motret bukan untuk dipajang, tapi untuk membangkitkan rasa kepedulian terhadap sesama. Dengan adanya foto/gambar visual, emosi sesorang mudah tersentuh! Ini untuk menggebrak masyarakat lo, untuk bangun dan bergerak! Apalagi ini mendekati tanggal 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda! Seharusnya mereka sadar, bersatu dan bergerak bersama!” ucap hati kecilku, yang haus akan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Aku tidak berfikir panjang, langsung terjun ke pelosok yang mampu aku jamah. Dinginnya cuaca membuat gigiku gemeretak, sangat menggangu. Berkali-kali aku tidak fokus dalam mengambil gambar karena tubuhku yang menggigil dengan bunyi gemeretak gigi yang mengusik. Aku pun rela kameraku rusak, tubuhku menggigil dan terkena kuman penyakit, hanya untuk membangkitkan rasa kemanusiaan yang sudah tidak dimanusiakan. Lalu, hei Manusia, apakah kita hanya diam saja!?

Minggu, 14 November 2010

Kemustajaban Doa




Telah aku torehkan dalam tulisan sebelumnya, lihat: http://worldabhie.blogspot.com/2010/05/doa-adalah-mata-pedang.html . Ya, banyak hal spiritualitas mengenai doa yang kualami, --mungkin banyak orang yang tidak meyakini hal-hal yang abstrak, namun bagi orang yang mencoba untuk beriman, tentunya akan percaya.

Hal yang baru aku alami adalah, hilangnya STNK si Jambul, motor kesayanganku. Saat keluar kampus, aku memasukkan STNK ke dalam kantong celana di sebelah kiri, setelah itu aku langsung meluncur ke Goethe Haus, Pusat Kebudayaan Jerman, untuk bertugas di sana dalam acara Europe On Screen 2010, Festival Film Eropa 2010.
Esok paginya, adikku bertanya mengenai STNK tersebut. "Di kantong celana," ucapku singkat karena masih terkantuk-kantuk.
"Dimana? nggak ada!" ucapnya panas.

Setelah mencari-cari kesana kemari, hingga lemari dan kulkas ku jamahi, tetap tidak ada. Aku pasrah, hilang sudah. Nampaknya terjatuh saat aku memasukkan ke dalam kantong celana. Aku pun langsung ke kampus, untuk menanyakan STNK yang hilang kepada petugas parkir. Tetap saja hasilnya nihil. Esok harinya, aku ke Goethe Haus, untuk menanyakan STNK kepada petugas keamanan, tetap, NOL besar.

Innocent, malam harinya, adikku menemukan STNK di dalam box motor. Padahal, aku sudah mengecek ke dalam box motor, dan tidak ada disana. Lalu kok bisa ada disana?

Aku tersenyum simpul, aku ingat, baru beberapa menit yang lalu, mengikuti Istigosah Akbar di Istiqlal, berdoa untuk kedamaian indonesia. Disana pun, aku diminta Majelis Rasulullah untuk menjadi fotografer, mengabadikan moment bersejarah ini. Aku Iklahs, untuk dakwah Rasulullah SAW. Lalu, seusai solat magrib, aku mengutarakan doa (doa yang harus spesifik lihat: http://worldabhie.blogspot.com/2010/05/doa-adalah-mata-pedang.html )
dan dilanjutkan membaca surat cinta dariNya, Al Quranul karim.

Bagaimana mungkin, STNK si Jambul berada di box motor? Padahal aku sudah mengeceknya, dan ingat kalau STNK itu aku masukkan ke dalam kantong celana. Hal yang tidak mungkin itulah yang menjadi mungkin bagiku, ketika mengetahui kebesaranNya.

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:"Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. 36:82)

KIsah Masa Kecil Para Nabi: Dari Kecil Hingga Dewasa







Kisah Pilihan Para Nabi: Dari Kecil Hingga Dewasa
Penerbit: Tiga Serangkai
Terbit: Oktober 2010



Kisah para nabi merupakan kisah paling penting dalam sejarah manusia. Siapapun ingin menyimak kehidupan mereka. Mengenal kemuliaan mereka. Terlebih, meniru keagungan perilaku mereka.
Dalam buku ini dijelaskan, seputar sejarah, sifat, karakteristik dan perilaku 10 nabi pilihan pada waktu kecil hingga masa kenabian. Dilengkapi dengan ilustrasi yang imajinatif menjadikan buku ini ,mudah dipahami oleh anak-anak.
Mengapa hanya 10 nabi?
Supaya dapat mengupas kisah mereka lebih menyeluruh dan lengkap. Tentunya pembaca lebih fokus dalam memahami setiap dari kisah yang dipaparkan.

Senin, 20 September 2010

Tanpa “Cinta Ini” Mungkin Aku Sudah Gila (GILA#1)


Sejauh ini, selama aku hidup, banyak sekali masalah yang ku hadapi, mulai dari masalah pergaulan, akademis, percintaan, keluarga, himpitan ekonomi, kebengisan kaum borjuis, hingga ketidakadilan yang terus menimpa diriku. Mungkin bukan hanya aku yang memiliki segudang kegelisahan, mungkin juga, masalahku adalah partikel kecil dari luasnya samudra lautan bagi Anda atau orang lain.

Ya, Alhamdulillah sampai saat ini aku masih mampu bertahan. Tidak seperti beberapa orang belakangan ini, yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya, yakni meminum racun, dan bunuh diri. Namun secara logika, apakah dengan bunuh diri masalah akan selesai? Tentunya malah menambah masalah, belum lagi azab yang diterima? Nauzubillah, jangan sampai seperti itu.

Banyak hal yang membuatku untuk selalu bertahan hidup di tengah terpaan badai masalah yang selalu menghantam. Salah satunya, dan yang menurutku paling ampuh, ialah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tanpa cinta mereka, mungkin aku sudah gila, ataupun mati konyol, bunuh diri!

Terkadang, suatu kesalahan kita adalah, memaknai ibadah dengan “takut” bukan “cinta” kepada-Nya. Takut akan azab neraka, takut akan dosa, dan lainnya. Ya, memang takut mampu memotivasi kita untuk berbuat lebih baik. Namun, menurutku takut berada di barisan kedua, ataupun ketiga, tentunya setelah cinta. Ya, dengan cinta kita mampu menghargai dan menyayangi orang lain.

Rasionalisasinya, apa yang akan Anda perbuat terhadap wanita yang Anda cintai? Tentunya Anda akan melakukan apapun agar kekasih hati Anda tidak kecewa dengan Anda. Bahkan sering terucap, “Jika aku memiliki sayap, aku akan terbang ke langit, membawakan bulan untukmu!” Ya memang, kita sering dibutakan oleh cinta semu, yang membuat cinta kita kepada kekasih, melebihi cinta kita kepada Allah, Sang Maha Tunggal, pemilik tubuh lemah ini. Padahal Allah selalu mencintai kita setiap saat, tapi kita malah sering melupakan segala kenikmatan yang telah dipinjamkan-Nya kepada kita.

Allah selalu membuka pintu bagi para hamba-Nya yang selalu ingin dekat dengannya. Tanpa mengenal status, jabatan ataupun siapa ayahmu. Ya, sekali lagi, kita-nya saja yang salah, selalu menolak lamaran cinta-Nya Allah. Coba bayangkan, jika Allah mencintai kita, apapun akan diberikan kepada kita, agar kita selalu dekat dengan-Nya. Seperti, kekasih Allah, Muhammad SAW yang diberikan kewengan atas kemustajaban doa dan ucapan-Nya. Tentunya kita tidak bisa sempurna Nabi Muhammad, namun setidaknya kita harus menggapai cinta-Nya Allah walaupun seujung kuku. Apakah kita tidak bisa?

Pertanyaan besar terhunus kepadaku, “Dengan apa?”

Salah satunya, dengan membaca dan menjawab surat cinta-Nya, ingatkah kalian 14 abad lalu Allah mengirimkan surat cintanya bagi hamba-Nya melalui Muhammad SAW? Maka ambillah dan jawablah surat cinta-Nya itu, maka Ia pun akan luluh dengan kita. Walaupu Allah juga memiliki hari pembalasan, namun sesungguhnya cinta dan kasih sayangnya Allah melebihi murka-Nya. Maka lantunkanlah surat cinta dari-Nya. Sesungguhnya di dalam surat cinta-Nya itu terdapat segala petunjuk yang menuntun kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Disaat aku gundah, aku terjatuh dan aku terjerembab dalam lubang kemaksiatan dan terjerembab lagi. Maka tak henti-hentinya selalu ku panggil nama-Nya, mencurahkan isi hati kepadanya. Maka air mata ini pun luluh dengan kecintaan terhdap-Nya, mengalir ikhlas tanpa paksaan dan mengalir lembut tanpa dorongan. Bahkan seorang lelaki gagah, pemenang juara olahraga sekalipun akan luluh dengan mengingat cinta dan keagungan Dirinya.

Taubat, mungkin salah satu solusinya. Ya, menurutku tobat merupakan salah satu refleksi dari cinta kita kepada Allah. Dengan bertaubat Insya Allah kita akan menjadi fitrah kembali. Namun, melihat sisi manusia yang tak pernah luput dari kekhilafan terkadang membuat kita frustasi dengan taubat kita sendiri, sehingga memilih jalan pintas yang ngawur. Lalu, apakah dengan melihat sisi manusia, lantas kita enggan untuk bertaubat, dengan dalih “Nanti saja kalau sudah tua!” atau, “Ah saya sudah bosan bertaubat, nanti juga saya terjerumus kembali ke dalam lubang yang sama!”

Satu hal yang ingin saya garisbawahi, tolong jangan menghakimi Allah dan diri Anda dengan kalimat-kalimat seperti itu. Jujur, aku pun sempat frustasi dengan taubat yang aku lakukan. Namun ketika kembali mengingat ceramah guruku, aku kembali bangkit. Ingatlah Allah Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Mengetahui hal yang terbaik bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya. Bahkan sebuah dosa pun, dapat berubah menjadi pahala, apabila kita menghendakinya.

“Kecuali mereka yg bertobat, beriman, dan beramal shalih, maka bagi mereka Allah gantikan dosa dosanya dengan pahala” (QS Al Furqan 70).

Lihat! Betapa cintanya Allah kepada umat Sayidina Muhammad. Maka, bertaubatlah hari ini, lalu serahkanlah hari esok kepada-Nya. Sebab Dialah yang Maha Mengetahui segalanya, kita sebagai hamba yang terbatas akan hari esok, diperintahkan untuk berusaha sampai pada detik yang berjalan. Taubatlah hari ini, jika esok kita kembali terjerumus, maka itulah jalan yang diberikan Allah. Namun kita jangan pasrah terhadap jalan itu, bisa jadi Allah menguji kita, atau sengaja memberikan cobaan seperti itu, agar kita senantiasa kembali ingat kepadanya. Dengan adanya dosa, maka kita akan selalu ingat kepadanya. Sebab terkadang, apabila kita merasa suci, aman dari dosa, maka kita enggan mengadahkan tangan kepada-Nya.

Sungguh sangat indah sekali tuntunan yang sampai kepadaku, tuntunan yang bermuara kepada Sayidina Muhammad SAW. Masihkan kita menolak lamaran cinta-Nya? Bahkan dengan segenggam cinta, Nabi Muhammad SAW mengajak kita untuk berjumpa dengan Allah.
Hadis riwayat Anas bin Malik Ra:

Bahwa seorang Arab badui bertanya kepada Rasulullah Saw: Kapankah kiamat itu tiba? Rasulullah SAW bersabda: Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab: Cinta Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw bersabda: Kamu akan bersama orang yang kamu cintai. (Shahih Muslim No.4775)

Hadis riwayat Abdullah bin Masud Ra, ia berkata:
Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang mencintai suatu kaum namun dia belum dapat bertemu dengan mereka? Rasulullah SAW menjawab: Seorang akan bersama orang yang dicintai. (Shahih Muslim No.4779)

“Seseorang bersama orang yang dicintainya.” Ya, jika kita mencintai Allah dan Rasul-nya, maka Insya Allah, kelak kita akan bersamanya, Amin!

(Tulisan ini penulis persembahkan untuk penulis sendiri khususnya dan khalayak umum. Dengan adanya tulisan ini bukan berarti aku telah mempraktikan semuanya, belum! Curhatan ini sengaja aku jadikan sebuah karya, agar kata-kata ini terus hidup walaupun aku telah tiada. Sebagai sarana pengingat dan obat bagi diriku sendiri apabila aku sedang terpuruk. Tulisan ini adalah sebuah pengalaman spiritual diriku, yang ku peroleh ilmunya dari Guru Mulia Al Habib Munzir Al Musawa, pimpinan Majelis Rasulullah SAW. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi motivasi bagi diriku dan khalayak umum untuk menggapai cinta-Nya. Segala kebenaran hanya datang dari Allah, jika salah tentunya itu dari penulis. Aku bukanlah orang alim, aku bukanlah orang suci dan aku bukanlah seorang ulama, melainkan akulah sang pendosa yang selalu berusaha menggapai cinta-Nya!*FF)

Selasa, 14 September 2010

Rintihan Anak Bau Kencur

Arrrggghhh..! Sudah cukup! Aku bosan dengan ini semua! Aku harus bangkit! Percuma aku disekolahkan orangtuaku tingi-tinggi! Buat apa ijazahku kelak, apabila lingkungan sekitarku menderita karena ulah para orang berdompet tebal dan kaum borjuis.

Bagaimana tidak, apabila hujan mengguyur, sekejap lingkungan kami terendam banjir. Memang lingkungan rumahku kumuh dan merupakan daerah rawan banjir. Tapi dulu tidak seperti itu! Dahulu, sebelum gedung-gedung pencakar langit itu berdiri tegak, kami jarang sekali terkena banjir besar. Belum lagi kau pagari kali dengan tembok setinggi 5 meter lebih, agar luapan air tidak mengalir ke wilayah elit itu. Sekarang, hujan sebentar saja sudah mengenangi rumah kami. Seperti banjir lima tahunan, kami tidak perlu menunggu lima tahun untuk mengalami derita itu, tahun-tahun biasa pun, banjirnya tetap sama, berbeda sebelum bangunan itu berdiri tegak! Hari ini saja, ketinggian air di lingkunganku mencapai 1.9 meter (seleher orang dewasa)!




Dahulu, masih terekam jelas dibenakku, banyak sekali lahan luas, dua lapangan sepak bola, kebun dan sawah, yang menjadi kawasan peresapan air. Kini, semua berubah, tanah-tanah merah tempat kami berpijak, sudah menjadi beton-beton bangunan. Sejengkal tanah kali pun, kau urug untuk memperluas wilayah jajahan kau. Percuma! Ya, percuma, pemerintah selalu menggalakkan program ‘bio pori’ sebagai lubang peresapan air, yang tentunya akan mengurangi dampak banjir. Tapi buat apa! Seberapa besar apakah, diameter sebuah bio pori yang terbuat dari bambu atau peralon? Realita-nya tanah lapang, ratusan hektar dijadikan kawasan real estate, apartemen megah dan mall yang mewah.

Kemarin, tepat hari kemerdekaan 17 Agustus, rumah kami pun terendam banjir. Di hari, selayaknya kami berbahagia, mengangkat tangan ke arah kening, sambil mengumandangkan lagu Indonesia Raya, malah menjadi hari yang sangat ironis bagi kami. Banjir mengenangi rumah kami, kami terkungkung, dikelilingi air yang keruh, tanpa bantuan.



Apakah hanya banjir air keruh saja yang kami terima? Tidak! Setiap pasca banjir, kami selalu membersihkan lumpur-lumpur yang melekat pada tembok dan lantai rumah kami. Air kami pun ikut tercemar. Bahkan, banjir kali ini (14/09) sangat tragis sekali, sebab banyak tetanggaku yang mudik ke kampung, pintu rumahnya terkunci, sedangkan air itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Bayangkan! kasur empuk yang sering mereka tiduri kini tidak bisa terpakai lagi, karena sudah kotor. Kulkas dan barang-barang elektronik lainnya, mungkin sudah di daftarkan ke tukang loak untuk di jual per kilo, sebab sudah tidak dapat dipergunakan kembali.

Aku memang masih anak bau kencur, anak baru gede, kuliah pun belum lulus, tapi setidaknya tolong perhatikanlah lingkungan sekitar Anda, Wahai Pemilik Modal! Sebelum mendirikan bangunan, verifikasi terlebih dahulu Analisis dan Dampak Lingkungannya. Apakah menggangu ekosistem, lingkungan hidup atau tidak.

Tidak perlu para profesor untuk menganalisis itu, anak kecil dan nenek-nenek tua pun tahu, luapan air kali, tidak bisa masuk ke wilayahmu karena kau batasi dengan tembok yang menjulang tinggi! Sehingga luapan air yang seharusnya terbagi rata antara wilayah Kemang dan Cipete, kini dilimpahkan ke wilayah kami! Puluhan hektar yang dahulu menjadi wilayah resapan air, kini menjadi wilayah resapan rupiah! Ironis? Memang!



Sejak lama, aku ingin berteriak di toa-toa (pengeras suara) Mushollah, meneriakkan, panji-panji kemerdekaan yang telah terinjak-injak. Tapi, aku merasa belum yakin, karena aku hanyalah anak bau kencur dan tidak memiliki pendamping yang kuat. Aku mohon! Aku mohon! Para kompasianer, para blogger, para petinggi, para jurnalis, para aparatur pemerintah, para pemilik modal yang membaca tulisan ini! Bantulah kami, perjuangkanlah hak kami.



Rumahku, berada di keluarah Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tepat di samping kami, berdiri tegak kawasan mewah nan megah, “kem-ang pileg”. Mungkin mereka akan tertawa melihat kami yang sedang menderita, dari atas gedung yang menjulang tinggi itu.


Cipete Utara, 14 September
Farabi Ferdiansyah

Kamis, 09 September 2010

Saling berbagi di Bulan yang Fitri









Keluarga Besar Farabi Ferdiansyah, Segenap Management By@Photography, dan Sevenlines, Mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Jumat, 27 Agustus 2010

Juara II Foto Islami

Alhamdulillah, berkat Ridho Allah dan Orangtuaku, keberkahan Ahlul Badr dan Malam nuzulul Quran, serta dukungan dan bimbingan teman-teman seperjuangan...
Akhirnya..... dapat menjuarai Lomba Foto dengan tema: Dengan Islam Raih Kesuksesanmu... diselenggarakan oleh UKM Islam Hudzaifah, Universitas Trisakti...
Terima kasih s...emuanya... :)

Senin, 26 Juli 2010

Nisfu Sya'ban, Dari Sang Pendosa

Malam Nisfu Sya’ban....
Adalah merupakan malam mustajab, diantara malam-malam lainnya, kecuali malam lailatul qadar (paling mustajab). Malam ini juga disebut malam 15, pada bulan Sya’ban. Pada malam ini kita dipermudahkan oleh Allah untuk mengungkapkan kegundahan kita, kegelisahan kita, pengakuan dosa kita dan harapan kita. Allah menjamin doa-doa kita tersebut akan dikabulkan, jangan beranggapan Allah berdusta, apabila hajat belum dikabul, maka Allah akan memberikan kita hajar yang terbaik untuk kita, tanpa kita sadari.
Lebih dari 136 hadits yang meriwayatkan kemustajaban malam Nisfu Sya’ban. Pada malam ini –dari terbenamnya matahari, sampai munculnya matahari-- Allah akan mengabulkan hajat kita, dan memaafkan dosa keturunan Adam, kecuali orang-orang yang menyembah selain Allah dan yang sengaja memutuskan tali silaturahmi.
Sangat disayangkan, apabila malam ini kita tidak mengadahkan kedua tangan kita kepadanya. Rasanya sombong sekali, apabila kita enggan untuk mengharap keridhoan dari-Nya. Bahkan Mahatma Gandhi pernah berkata, “aku akan gila, apabila tanpa doa!”
Wahai Rabb... Maafkanlah dosa hambamu ini, dosa orangtua hamba, berikanlah kami panjang umur dalam keadaan taat, dan tetapkanlah keimanan kami terhadap ketuhanan tunggalmu!
Wahai Rabb... Maafkanlah kekhilafan diantara kami, jalinlah silaturahmu kami dengan baik dan bersihkan hati kami dalam menyambut bulan Ramadhan.
Kawan, tegur aku bila aku salah...
Rangkul diriku, apabila aku lemah...
Bangunkan aku, apabila aku terjatuh...
Dan, sadarkan aku, apabila aku khilaf...

Mohon Maaf Lahir dan Batin...
Sucikan hati, bersihkan diri menyambut bulan mulia, bulan RAMADHAN!
Marhaban ya Ramadhan!!! FF


NB: Maaf nyampah, inilah ungkapan hati kecilku, sangat sombong bagiku, apabila diri ini tidak mengibarkan bendera maaf dan menyampaikan pesan Illahi. Sangatlah pelit, apabila ada orang yang mengetahui suatu ilmu yang sangat bermanfaat bagi umat, namun tidak disampaikan.
Silakan meremove, apabila tidak berkenan... terima kasih! FF

Jumat, 28 Mei 2010

Wejangan dari Suhu

Dibilang dosen, secara akademisi bukan. Tapi menurutku, dia adalah dosen, bahkan, kualitasnya melebihi dari dosen.
Dibilang seorang kyai juga bukan, tapi terkadang dia memberikan pencerahan terhadap jiwa spiritualku.
Maka aku menamaknnya SUHU, mungkin ia seperti suhu panas, yaitu suhu yang mampu membakar semangatku. Ya, mungkin nama itu cocok untuknya.

Pertama, mengenai doa, dia memberikanku contoh doanya kepada Tuhan. Ya, benar katanya, bahwa kita tidak boleh sombong, dengan sekali berdoa --doa sapu jagat-- kita sudah merasa berdoa. Tidak seperti itu, karena kebaikan-Nya sangat luas, maka dia menganjurkanku untuk beroda yang spesifik. Berdoa yang langsung mengenai tepat sasaran. Dan percayalah kita pasti mampu menggapainya.

Kedua, Fokus pada satu titik. Ya, kusadari aku adalah orang yang menyukai banyak hal dan keinginanku serta naluri bereksperimenku sangat besar. Aku mencari lubang, dimana setiap tanah itu berlubang aku masuki, dan itulah yang membuat pikiranku bercabang. "Injaklah kakimu pada batas yang pasti, jangan di tengah-tengah, jangan mengambang, karena hanya akan menghasilkan NOL BESAR. Seperti halnya membeli baju, kamu tertarik dengan semua baju, tapi kamu dibatasi oleh uang yang kamu miliki, maka pilihlah baju yang sangat kau inginkan, dan jalin komunikasi dengan teman lain, agar suatu saat, kamu dapat bertukar ataupun meminjam baju darinya," matanya tajam melihatku.

Ketiga, konsisten. Konsisten adalah bentuk nyata kita dalam suatu minat/keinginan. "Aturlah ritme mu dengan teratur dan periodik, dan tunjukanlah konsistensimu...."

Ya, itulah wejangan-wejangan yang diberikan kepadaku, untuk kemajuan hidupku, dan masa depanku. Terima kasih SUHU!

Doa adalah mata pedang

Doa adalah mata pedang. Mampu menembus lapisan tujuh langit, dengan kecepatan lebih dari kecepatan matahari ke bumi, 200 tahun.
Doa adalah sarana komunikasi kita dengan Tuhan. Ya, janganlah menyepelekan doa!
Maka barang siapa yang tidak mau berdoa kepada tuhannya, maka dialah termasuk orang yang sombong.

Ya Allah, jangan jadikan kami orang yang sombong terhadapmu!
Terima kasih Tuhan, atas segala nikmatmu!

Aku berkeluh kesah, aku berkata, aku berdoa, dan aku kembali!

Jumat, 09 April 2010

Tiga Jam Di Masjid Fatullah





Tiga Jam di Masjid Fathullah

Kali ini aku ingin bertafakur (merenung) tentang kekuasaan Tuhan, Sang Maha Pencipta. Itulah alasan aku sudah berada di masjid Fatullah UIN Syarif Hidayatullah. Pukul 11.30 (12/03), dan langsung duduk di shaf (barisan) pertama. Aku ingin merenungi kata demi kata Kalsum Minangsih, dosen mata kuliah Ilmu Dakwah 2, yang baru saja usai pada pukul 09.30. Kata-katanya menyentuh hatiku, diam-diam saat ia mengajar air mataku pun berlinang, tapi aku tidak mau menumpahkan air mataku, aku takut kejantananku diremehkan oleh teman-temanku, karena saat itu aku berada di dalam kelas. Dosenku itu bercerita mengenai hakekat kita sebagai manusia, segala penciptaan alam dan seisinya. Wa ma yatafakkarun (apakah kamu memikirkan?) atas apa yang telah Tuhan cipatakan dan berikan kepada kita. “Beh…” itulah kata-kata yang terus mebayangi otakku setelah aku keluar kelasnya.

Setelah aku merenungi segala sesuatu yang ada di dalam diriku dan di sekitarku. Benar saja, air mataku pun mengalir begitu saja, aku tidak bisa membendungnya, mengalir ikhlas dari sudut kedua mataku. Aku menyadari betapa kafir dan kufurnya diriku, selalu menghianati-Nya, salalu mencaci-Nya dan selalu kufur nikmat (tidak mensyukuri atas segala nikmatnya). Asma-asma Allah terus aku kumandangakan dari bibirku. Pelan tapi bibirku bergetar, laksana berteriak sekuat tenaga. Kalimatnya hanya beberapa huruf saja, namun bisa menggetarkan hatiku dan bibirku serta meruntuhkan sifat sombong dan sok jantan diriku. Jujur saja kawan, semenjak diriku menginjak usia dewasa, aku sudah tidak lagi menangis karena masalah pacar, sekolah ataupun masalah keluarga. Kini air mataku hanya mengalir ketika aku mengadu dengan Tuhanku. Entah mengapa air mata ini mengalir begitu saja, tidak bisa dibendung lagi jika dihadapkan kepada-Nya. Betapa agungnya nama-nama-Mu wahai Rabb. Aku teringat hadis Nabi Muhammad SAW yang intinya, salah satu dari tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah adalah menyebut nama Allah dan bergetir bibirnya.

Suara mengaji dari speaker masjid terus menyelimuti hatiku, bisikan kalimat Illahi itu semakin membuatku hikmad dan nyaman. Aku tidak memperdulikan lagi sekitarku, apakah mereka terganggu dengan isak tangisku atau terganggu karena aku berisik. Biarlah mereka mencercaku, menghinaku atau memfitnahku “sok alim’. Tapi aku benar-benar merasakan kedamaian dalam hatiku, merasakan kesejukan, merasakan nikmatnya iman dan menyadari bahwa kekuasaaNya Maha Dahsyat.

Khotib naik mimbar, tandanya sudah waktunya azan salat Jumat, menyeru untuk para muslimin mempercepat langkahnya ke masjid karena khotib akan berceramah (khotbah Jumat). Isakku terhenti ketika azan Jumat akan berkumandang. Aku mengelap air mata yang membasahi pipiku dan sebagian telah jatuh mambasahi bajuku.

Lagi dan lagi, itulah kata yang terlontar dalam hatiku ketika mendengar khotbah Jumat yang dibawakan oleh seorang Profesor yang ilmunya diatas rata-rata. Inti ceramahnya hampir sama seperti Bu Kalsum Minangsih, ia menyeru agar segala aspek ilmu pengetahuan seharusnya di kolaborasikan (dibarengi) oleh hukum Islam. Jangan memisahkan aspek ilmu dengan agama, maka yang akan terjadi adalah kesenjangan sosial dan kemudharatan. Lalu di akhir khotbahnya khotib menyeru kepada umat muslimin untuk berfikir luas mengenai keislaman, tapi tanpa melangar syariat Islam. Itulah batasan-batasan yang harus kita pegang teguh ketika kita mengembangkan pola pikir keislaman, jika tidak kita akan kafir.

Seusai salat Jumat, ada pengumuman yang menyatakan, “Tabligh akbar memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dan yang berceramah adalah Ustad Yusuf Mansur.”
Wow, ada Maulid Nabi Muhammad SAW, sang idola dan pahlawanku. Aku pun mengikhlaskan diri untuk duduk lebih lama lagi di dalam masjid. Seusai berdoa, baner di bentangkan, para jamaah merapat dan membuat barisan.
Ustad Yusuf Mansur adalah da’i kondang yang sudah melintang ke bergbagai media nasional, maka namanya sangat popular di kalangan umat muslim. Ustad Yusuf Mansur sangat terkenal sekali dengan ceramah “sedekah”. Ceramah itulah yang terus menyentuh hati para umat muslim untuk terus bersedakah dan saling berbagi satu sama lain.

Dalam ceramahnya Ustad Yusuf Mansur menyinggung pondok pesantrenya, pondok pesantren yang akan mencetak para penghafal Al-Quran, dan memberikan trik untuk dapat cepat menghafal. Tawa canda menyelingi ceramah da’i kondang tersebut, sesekali ustad Yusuf Mansur memperagakan gerakan-gerakan yang aneh dan lucu. Inti ceramahnya adalah untuk mempermudah kita menghafal sesuatu, maka pergunakanlah (menyelingi) di setiap aktifitas kita, jangan harus memfokuskan menghafal mengurung diri di dalam kamar ataupun masjid. Cara yang ampuh untuk mempercepat hafalan adalah dengan memberikan reward (penghargaan) kepada diri kita ataupun orang lain. Ustad Yusuf Mansur mencontohkan hal itu dengan kejadian nyata temannya sendiri yang bernama Helmi. Helmi memancing ketiga anaknya untuk menghafal surat Arrahman dengan memberikan makanan apabila dapat menghafal disetiap ayatnya. Semakin banyak ayatnya maka semakin enak makanannya. Unik memang, dan aku pun yakin cara itu sangat ampuh untuk memancing seseorang untuk terus menghafal dengan ketentuan apabila dapat menghafal akan mendapatkan hadiah.

Baterai imanku sudah terisi kembali, keimananku sedikit bertambah, namun yang aku takutkan apabila keimananku turun, karena keimanan seseorang dapat naik dan turun dalam waktu sepersekian detik. Aku menyadari keimananku mudah sekali goyah, apalagi bila dihadapakan dengan kaum hawa. Rasanya segala ilmu agama yang masuk ke dalam otakku, hilang seketika. Maksiat, itulah perbuatan yang mampu menghapus hafalan dan keimanan seseorang. Itulah yang sangat sulit untuk kita lawan, karena Nabi mengatakan, “Jihad yang paling besar adalah jihad melawan hawa nafsu.”

Tapi kawan jangan pesimis, jangan merasa dosa-dosa kita tidak akan di ampuni, Dia adalah Sang Maha Pengampun. Aku teringat ucapan Al Habib Munzir Bin Fuad Almusawa yang mengatakan, “Jangan takut untuk bertobat, bertobatlan kalian untuk hari ini dan hari sebelumnya, apabila keesokan harinya kalian berbuat dosa lagi, itu kehendak yang Maha Kuasa, bertobatlah setiap saat, jangan sungkan untuk meminta maaf kepada-Nya, namun kita harus berusaha untuk lebih baik, serahkan nasibmu esok hari hanya kepada-Nya!”
Argggh! Rasanya aku ingin berteriak, meluapkan segala emosiku. Ya Rabb, aku ini memang bukan seperti kekasih-Mu (Muhammad SAW). Aku ini hanya makhluk yang tiada daya upaya untuk mencegah dosa. Aku hanya bisa terus memohon ampun pada-Mu, aku hanya bisa merengek kepada-Mu, aku hanya bisa mengharapkan belas kasihan-Mu. Ya Rabb! Hanya kepada-Mu lah aku menyembah dan hanya kepada-Mu lah aku memohon pertolongan.

Farabi Ferdiansyah

Selasa, 19 Januari 2010

Pesta Obama di Bali
Oleh: Farabi Ferdiansyah




Data Buku
Judul : Pesta Obama di Bali
Penulis : Nuriwa Ki S Hendrowinoto
Penerbit : Udayana University Press
Tahun: 1, Juli 2009
Tebal : 170 halaman

Jangan anda berharap, Obama benar-benar mengadakan pesta di Bali. Karena ini merupakan karya fiksi, namun bernilai sangat tinggi. Penuh dengan lika liku kehidupan bangsa.
Itulah karya yang di tulis oleh Nuriwa Ki S Hendrowinoto, dengan judul Pesta Obama di Bali. Ia berusaha menyadarkan bangsa ini, dengan keahliannya dan caranya sendiri. Di saat bangsa ini sedang menikmati euphoria demokrasi, Nuriwa mencoba “menyentil” masyarakat luas secara umum, dan para petinggi negara, agar tidak semena-mena terhadap negaranya sendiri. Dalam novel ini, fakta dikemas dalam cerita fiksi yang unik, sehingga menambah selera para pembacanya.
Pesta Obama di Bali mengisahkan penari Bali, Nyi Legong, yang tidak mau mengenakan BH dan celana dalam, sejak G-30 S-PKI tahun 1965 sebagai protes moral atas kebiadaban yang menimpa keluarganya. Suaminya, adalah korban salah tangkap, sedangkan dirinya telah diperkosa oleh para penyidik. Kejadian-kejadian itu membuat dirinya bersumpah kepada dirinya sendiri untuk tidak mengenakan BH dan celana dalam.
Tiba-tiba sumpah tersebut luluh ketika Obama terpilih menjadi presiden. Ia mau menari lagi dengan menggenakan kutang dan celana dalam. Seggala ritual pun dilakukan, tiba-tiba, tariannya dalam pesta tersebut menjadi kesurupan dan terjadilah peristiwa memalukan yang mengakibatkan Nyi Legong dan mereka yang terlibat di dalamnya, berurusan dengan gedung putih dan membakar jenggot para pemuka agama.
Kisah sederhana ini, dikembangkan oleh Nuriwa dalam opininya yang bernada kritis terhadap Indonesia, baik politik, budaya, sastra bahkan agama. Penulisnya merasuk ke setiap sela-sela, ke segala arah peradaban Indonesia. Sebuah cakupan yang sangat luas dan ambisius, membuat pembacanya sangat terlena dengan kisah unik namun mengkritik.
Novel ini pada dasarnya sindiran terhadap mentalitas bangsa. Hampir segalanya tak bisa dibanggakan kalau tidak berani bangkit dengan otensitasnya sendiri.Tidak percaya diri dalam berpikir otentik inilah yang menjadi dasar Indonesia. Seperti dalam kisah novel ini, masyarakat Indonesia menaruh harapan dirinya, bukan kepada kepala pemerintahannya sendiri, melainkan pada Presiden Amerika, Obama. Indonesia tidak hidup dari diriya sendiri melainkan dari sikap, pangkuan tangan dan tindakan bangsa lain.
Secara keseluruhan, novel ini ditulis dengan bahasa yang estetis, lugas, jauh dari kesan bertele-tele novel ini pantas untuk dijadikan konsumsi. Pola pikir liar ala Nurinwa akan membuat kita sadar kewajiban kita sebagai warga Negara.

Ketika Jurnalisme Dibungkam
Sastra harus bicara
Farabi Ferdiansyah





Karya: Seno Gumira Ajidarma
Bentang Pustaka, 2005
Cetaka kedua

Sebelum orde baru banyak sekali media komunikasi yang dibredel karena tulisan atau isi dari penyampaian berita tersebut mengamcam para penguasa yang duduk di bangku pemerintahan. Namun karena kesadaran melek media, setelah orde lama runtuh, dan undang-undang yang membatasi kebebasan pers untuk berapresiasi direvisi/dicabut. Maka menjamurlah media komunikasi di masa itu sampai saat ini.
Seno Gumira Ajidarma, menggambarkan betapa sulitnya kebebasan berapresiasi dari zaman kerajan-kerajaan dahulu, para pujangga dibatasi karyanya hanya untuk memuji para raja. Namun tidak serta merta membutakan mata para pujangga idealis untuk berkreasi lebih. Adalah Prapanca, reporter dari Majapahit, dia menuliskan di luar kebiasaan para pujangga yang hanya bisa memuji-muji rajanya, menuliskan kebenaran lain dari kerajaan yang kebesarannya masih dipoles-poles sampai sekarang, dalam syair panjang yang kemudian disebut Nagarakrtagama. Meski sudah ditulis tahun 1365 di lereng gunung desa Kalamsana, Jawa Timur dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno, ia baru ditemukan naskah salinannya tahun 1740 oleh Arthapamasah dengan huruf Bali di Lombok pada 1894. Dan baru pada tahun 1979 untuk pertama kalinya Nagarakrtagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia.
Ketika para pujangga Jawa terbiasa menjadi mabuk oleh keindahan alam, Prapanca malah berkata, “Kami tidak akan bicara tentang keindahan danau itu”. Dengan kata lain, sebuah Nagarakrtagama satu-satunya sumber tiada tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan satra namun juga dalam berpolitik.
Kebenaran dalam kesusatraan adalah perlawanan bagi historisisme –sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaaan--. Kebenaran di dalam kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada alat tulis dan komputer, melainkan oleh visi dalam kepala yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam dan termusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai kebenaran dari sisi manapun, karena kehidupan sastra berada dalam pikiran. Butuh waktu yang lama untuk menemukan kebenaran, walaupun rohnya sudah tidak ada, pemikiran dan karyanya akan selalu terkenang.