Blog Kita dalam Massa

Farabi Ferdiansyah
Pegiat ilmu komunikasi praktis. Tertarik dengan dunia kreatif, sastra, jurnalistik, fotografi dan broadcasting!

Kamis, 19 Januari 2012

Wabah Kleptokrasi, Krisis Moral dan Etika Politik

Suatu warisan yang tak kunjung putus nasabnya dari ke tahun ke tahun untuk Indonesia adalah praktik korupsi.Banyak residu korupsi yang meninggalkan bercak hitam dari tahun ke tahun. Sebut saja kasus Gayus Tambunan yang tidak pernah terungkap big fish-nya, kasus Nazaruddin yang semakin pelik, dan kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Miranda Goeltom yang sudah berjalan lebih dari lima tahun tak kunjung usai. Kasus-kasus tersebut tak kunjung tuntas karena melibatkan para petinggi negeri ini.Banyaknya campur tangan elit politik dan persekongkolan partai politik merupakan refleksi atas nyatanya praktik kleptokrasi di Indonesia.

Ada dua kemungkinan pemicu terjadinya praktik kleptokrasi yang hampir membudaya ini. Pertama, krisis moral dan etika berpolitik yang buruk.Moral biasanya dikaitkan dengan sistem/ nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik.Tentunya untuk memiliki moral baik, seseorang harus memahami ajaran agama yang dianutnya dan tahu betul identitas budayanya. Kedua, etika politik. Etika membantu manusia untuk mengambil sikap, bertindak secara tepat guna dan bermanfaat.

Mengintisarikan pendapat Dr Haryatmoko, etika politik tidak lain upaya mendorong terciptanya kehidupan harmonis antarsesama, bebas dalam membangun institusi yang adil.Bebas di sini dimaksudkan untuk mendorong terciptanya sikap kritis dan menjamin terciptanya democraticliberties,kebebasan berpendapat,kebebasan pers,dan lainnya.

Menurut Paul Ricoeur,etika politik bertujuan untuk kehidupan bersama dan untuk orang lain, dalam rangka lingkup kebebasan, dalam rangka membangun institusi-institusi yang adil (1990). Etika politik bukanlah sarana perjuangan primordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk sesama.

Dengan begitu, etika politik mendorong terciptanya cinta pada sebuah dimensi publik, di mana saling melihat satu sama lain, bukan sebagai musuh, melainkan subjek politik yang setara,guna menciptakan stabilitas politik yang mapan.

Kedua hal ini tentu akan menjadi suatu pekerjaan rumah yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Moral dan etika tidak terbentuk secara instan,tapi membutuhkan suatu proses evolutif, di mana dukungan keluarga, lingkungan, agama, dan budaya saling terkait untuk menciptakan suatu moral dan etika yang mapan.

Dengan memiliki moral dan etika berpolitik yang mapan, seseorang akan mampu membawa pemerintahan ini dengan bijak, adil,dan antikorupsi.

*Tulisan ini dimuat di Koran Seputar Indonesia tanggal 27 Desember 2011.


Farabi Ferdiansyah
Mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta
Peneliti di Komunitas Djuanda,
Pembelajaran media sosial bagi masyarakat Tangerang Selatan

4 komentar:

meranitalentsa mengatakan...

Wow isinya berbobot! komen dikit ya Bi, sebenarnya kalau bahasa asing ditulisnya cetak miring, kayak big fish, baiknya dicetak miring Bi, hehe sekedar saran :)

Farabi Ferdiansyah mengatakan...

hehe, iya ran, ini karena gw copy paste dari link sindonya jadi nggak miring..
tapi dari web asli dan edisi cetaknya, juga cetak miring kok :)...

Thanks ya ran :)

meranitalentsa mengatakan...

Sip, bagi-bagi ilmu aja bi, hehe :)
Nice, gue pengen banget deh kayak lo uda bisa nerbitin buku gitu, waow!:O
Congrats yaa :D

Farabi Ferdiansyah mengatakan...

Ah, lo juga pasti bisa kok ran.. :)
Kan kita juga sama sama di biennale... :)